Selasa, 25 Oktober 2011

Gerhana Bulan Total 16 Juni 2011

Diposting oleh RANDOM DIARY di 06.41 0 komentar
Di bulan Juni, ada peristiwa astronomi yang istimewa, yaitu Gerhana Bulan Total (GBT) yang akan terlihat di  daerah Indonesia Bagian Barat (WIB) sekitar pukul setengah 2 dini hari di hari Kamis, 16 Juni 2011 dan berakhir sekitar pukul 5 subuh. GErhana Bulan total berikutnya terjadi tanggal 10 Desember 2011 dan lagi-lagi Indonesia berada di posisi yang beruntung untuk mengamati GBT Total ini. Jadi di tahun 2011 ini, kita bisa  menikmati 2 kali Gerhana Bulan Total.


Ketika GBT tanggal 16 Juni 2011 terjadi (yang saya maksud adalah gerhana umbral), posisi bulan cukup tinggi, yaitu sekitar  60 derajat dari daerah Barat Daya di sekitar jam setengah dua dini hari (Bulan sedang turun ke Barat Daya), dan berakhir dengan posisi ketinggian sekitar 13 derajat dari Barat Daya di sekitar pukul 5 subuh. Tentu posisi Bulan seperti ini sangat baik untuk diamati, apalagi jika kita bisa memfoto proses ini, woowww... Menikmati fenomena alam yang satu ini tidak perlu menggunakan teropong, juga tidak perlu memakai filter apapun. Cukup pake mata, atau binokuler dan kamera untuk mengabadikannya.

Sambil menunggu Gerhana Bulan Total, anda bisa menikmati planet Saturnus di langit malam (jika menggunakan teleskop akan lebih menarik), planet ini terbenam sekitar pukul satu dini hari, jadi setelah menikmati Saturnus langsung menikmati GBT setengah jam berikutnya. Sekitar pukul 3 subuh, sambil menikmati GBT, Jupiter mulai nampak di ufuk timur, kemudian berturut-turut planet-planet yang lain bermunculan di bawah Jupiter. Pukul 4 Mars yang muncul, kemudian pukul lima kurang seperempat Venus menampakkan dirinya. Sayangnya Merkurius tidak akan bisa diamati, karena terbitnya setelah Matahari terbit. Langit mulai terang secara perlahan-lahan sejak kemunculan Venus (mulai masuk ke fajar astronomis),  sampai benar-benar terang setelah  setengah 6 (waktu dimulainya fajar sipil).

Kondisi langit di Bandung daerah langit Timur pukul setengah enam, di hari Kamis 16 Juni 2011 (kredit : Stellarium)

Yang perlu anda persiapkan adalah kemampuan untuk begadang, kopi ama cemilan atau mie instan (hehehe) dan tentu saja kamera foto + tripodnya. Menurut saran dari para ahli, dalam memfoto gerhana bulan gunakan foto dengan hanya satu frame foto saja, yang difoto berkali-kali dengan rentang waktu tertentu dan yang pasti posisi kamera foto tidak boleh digeser sedikitpun, nanti hasilnya bisa menjadi seperti ini nih...


Dengan memperkirakan lintasan Bulan (bisa dicek 1 atau 2 hari sebelumnya) maka bisa dipilih satu lokasi yang bisa memberikan latar belakang yang spektakuler, misalnya di antara pohon-pohon seperti gambar di atas, atau di antara dua gedung, dll. Lama eksposure foto bisa dipilih yang diatas 5 detik dan di bawah 40 detik (lagi-lagi menurut para ahlinya), jika di atas 40 detik maka akan terlihat goresan yang kabur, sebab Bumi berputar pada porosnya dan benda langit terlihat bergerak di frame foto.

Jika anda cukup ahli untuk mengolah foto menggunakan komputer, maka anda bisa mengambil satu demi satu foto gerhana, gunakan perbesaran yang lebih besar dan anda bisa gabungkan melalui komputer, hasilnya tentu juga sangat menakjubkan seperti gambar di bawah ini



Mengapa bulan berwarna merah/coklat saat GBT?
Warna ini disebabkan oleh lewatnya cahaya matahari melalui atmosfer Bumi. Bagian yang mengalami serapan atau hamburan adalah sinar warna biru (karena itu langit tampak warna biru), sehingga ketika cahaya Matahari melewati atmosfer Bumi, yang tertinggal adalah cahaya warna merah yang bisa saja mencapai Bulan meskipun sedang posisi gerhana karena sudah mengalami pembiasan (cahayanya dibelokkan). Oleh sebab itulah cahaya Bulan saat gerhana total memiliki warna merah, tetapi hal ini juga dipengaruhi oleh banyaknya debu di atmosfer Bumi. Jika debu sedang banyak (misalnya ada peristiwa gunung meletus), maka bulan akan tampak sangat gelap. Skala kecerlangan Bulan saat gerhana bulan total dinamakan skala Danjon, yaitu sbb :

L = 0 Gerhana sangat gelap. Bulan hampir tak terlihat, terutama pada gerhana umbral.  

L = 1   Gerhana gelap. Warnanya abu-abu atau kecoklatan, sulit membedakan detil Bulan.  
L = 2   Gerhana Merah gelap, atau gerhana berwarna karat.  Di pusat umbra sangat gelap, sedangkan di pinggirannya relatif cerah.  
L = 3   Gerhana berwarna batu bata merah.  
L = 4   Gerhana yang sangat cerah, berwarna merah tembaga atau oranye.
Penentuan skala Danjon dilakukan dalam pengamatan langsung pada saat Gerhana Bulan Total terjadi.
Di bawah ini adalah rincian gerhana dari situsnya NASA tentang gerhana Bulan ini :

Mengukur Jarak Bintang Dengan Paralaks

Diposting oleh RANDOM DIARY di 06.31 0 komentar
Paralaks adalah perbedaan latar belakang yang tampak ketika sebuah benda yang diam dilihat dari dua tempat yang berbeda. Kita bisa mengamati bagaimana paralaks terjadi dengan cara yang sederhana. Acungkan jari telunjuk pada jarak tertentu (misal 30 cm) di depan mata kita. Kemudian amati jari tersebut dengan satu mata saja secara bergantian antara mata kanan dan mata kiri. Jari kita yang diam akan tampak berpindah tempat karena arah pandang dari mata kanan berbeda dengan mata kiri sehingga terjadi perubahan pemandangan latar belakangnya. “Perpindahan” itulah yang menunjukkan adanya paralaks.
Paralaks juga terjadi pada bintang, setidaknya begitulah yang diharapkan oleh pemerhati dunia astronomi ketika model heliosentris dikemukakan pertama kali oleh Aristarchus (310-230 SM). Dalam model heliosentris itu, Bumi bergerak mengelilingi Matahari dalam orbit yang berbentuk lingkaran. Akibatnya, sebuah bintang akan diamati dari tempat-tempat yang berbeda selama Bumi mengorbit. Dan paralaks akan mencapai nilai maksimum apabila kita mengamati bintang pada dua waktu yang berselang 6 bulan (setengah periode revolusi Bumi). Namun saat itu tidak ada satu orangpun yang dapat mendeteksinya sehingga Bumi dianggap tidak bergerak (karena paralaks dianggap tidak ada). Model heliosentris kemudian ditinggalkan orang dan model geosentrislah yang lebih banyak digunakan untuk menjelaskan perilaku alam semesta.
Paralaks pada bintang baru bisa diamati untuk pertama kalinya pada tahun 1837 oleh Friedrich Bessel, seiring dengan teknologi teleskop untuk astronomi yang berkembang pesat (sejak Galileo menggunakan teleskopnya untuk mengamati benda langit pada tahun 1609). Bintang yang ia amati adalah 61 Cygni (sebuah bintang di rasi Cygnus/angsa) yang memiliki paralaks 0,29″. Ternyata paralaks pada bintang memang ada, namun dengan nilai yang sangat kecil. Hanya keterbatasan instrumenlah yang membuat orang-orang sebelum Bessel tidak mampu mengamatinya. Karena paralaks adalah salah satu bukti untuk model alam semesta heliosentris (yang dipopulerkan kembali oleh Copernicus pada tahun 1543), maka penemuan paralaks ini menjadikan model tersebut semakin kuat kedudukannya dibandingkan dengan model geosentris Ptolemy yang banyak dipakai masyarakat sejak tahun 100 SM.
Setelah paralaks bintang ditemukan, penghitungan jarak bintang pun dimulai. Lihat ilustrasi di bawah ini untuk memberikan gambaran bagaimana paralaks bintang terjadi. Di posisi A, kita melihat bintang X memiliki latar belakang XA. Sedangkan 6 bulan kemudian, yaitu ketika Bumi berada di posisi B, kita melihat bintang X memiliki latar belakang XB. Setengah dari jarak sudut kedua posisi bintang X itulah yang disebut dengan sudut paralaks. Dari sudut inilah kita bisa hitung jarak bintang asalkan kita mengetahui jarak Bumi-Matahari.
Paralaks Dari Orbit
Dari geometri segitiga kita ketahui adanya hubungan antara sebuah sudut dan dua buah sisi. Inilah landasan kita dalam menghitung jarak bintang dari sudut paralaks (lihat gambar di bawah). Apabila jarak bintang adalah d, sudut paralaks adalah p, dan jarak Bumi-Matahari adalah 1 SA (Satuan Astronomi = 150 juta kilometer), maka kita dapatkan persamaan sederhana
tan p = 1/d
atau d = 1/p, karena p adalah sudut yang sangat kecil sehingga tan p ~ p.
Paralaks Bintang
Jarak d dihitung dalam SA dan sudut p dihitung dalam radian. Apabila kita gunakan detik busur sebagai satuan dari sudut paralaks (p), maka kita akan peroleh d adalah 206.265 SA atau 3,09 x 10^13 km. Jarak sebesar ini kemudian didefinisikan sebagai 1 pc (parsec, parsek), yaitu jarak bintang yang mempunyai paralaks 1 detik busur. Pada kenyataannya, paralaks bintang yang paling besar adalah 0,76″ yang dimiliki oleh bintang terdekat dari tata surya, yaitu bintang Proxima Centauri di rasi Centaurus yang berjarak 1,31 pc. Sudut sebesar ini akan sama dengan sebuah tongkat sepanjang 1 meter yang diamati dari jarak 270 kilometer. Sementara bintang 61 Cygni memiliki paralaks 0,29″ dan jarak 1,36 tahun cahaya (1 tahun cahaya = jarak yang ditempuh cahaya dalam waktu satu tahun = 9,5 trilyun kilometer) atau sama dengan 3,45 pc.
Hingga tahun 1980-an, paralaks hanya bisa dideteksi dengan ketelitian 0,01″ atau setara dengan jarak maksimum 100 parsek. Jumlah bintangnya pun hanya ratusan buah. Peluncuran satelit Hipparcos pada tahun 1989 kemudian membawa perubahan. Satelit tersebut mampu mengukur paralaks hingga ketelitian 0,001″, yang berarti mengukur jarak 100.000 bintang hingga 1000 parsek. Sebuah katalog dibuat untuk mengumpulkan data bintang yang diamati oleh satelit Hipparcos ini. Katalog Hipparcos yang diterbitkan di akhir 1997 itu tentunya membawa pengaruh yang sangat besar terhadap semua bidang astronomi yang bergantung pada ketelitian jarak.
 

RANDOM DIARY Copyright © 2012 Design by Antonia Sundrani Vinte e poucos